ILMU
BUDAYA DASAR
KARYA
SASTRA SEBAGAI MEDIA PELESTARI BUDAYA
CONTOH
KASUS BAB 3 “KONSEPSI ILMU BUDAYA DASAR DALAM KESUSASTRAAN”
Dosen : ANNUR HUSNUL KHOTIMAH, S.Psi.,
M.Psi.
Nama : ADI HERDIANSYAH
NPM : 1B214929
Kelas : 1EA20
Program Studi Manajemen
Fakultas Ekonomi
Universitas Gunadarma
Depok, November 2014
PTA 2014/2015
Karya Sastra sebagai Media Pelestari Budaya : Contoh Kasus Bab 3 ‘’Konsepsi Ilmu Budaya Dasar dalam Kesusastraan’’
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang serta diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur sistem mulai dari sistem agama, politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Salah satu hasil dari kebudayaan adalah karya sastra, tetapi secara garis besar sastra merupakan hasil karya dari individu hanya saja objek yang disampaikan tidak akan terlepas dari kebudayaan dan kehidupan sosial masyarakat.
Kejelasan lain tentang karya sastra ialah sastra itu tidak pernah tercipta dari kekosongan. Sastra selalu memiliki latar belakang untuk menjadi ada. Hasil dari pengolahan kejadian yang melatarbelakangi terciptanya sebuah karya sastra adalah cerita ataupun kejadian-kejadian dalam masyarakat. Inilah alasan karya sastra tidak pernah hadir dari kehampaan.
Hubungan yang erat antara sastra dan budaya akhirnya dapat menghasilkan karya sastra yang memiliki fungsi sebagai pelestari kebudayaan. Sebuah kebudayaan yang kompleks dapat tercermin dalam sebuah karya sastra. Jika ditelusuri dengan seksama, maka akan kita ketahui beberapa pengarang yang telah memasukkan sebuah tradisi dan budaya suatu daerah dalam karya sastra mereka. Pada khususnya para sastrawan yang memasukkan adat budaya Jawa didalamnya. Mereka merangkum beberapa kesenian atau pun tradisi-tradisi kejawen dalam karya-karya sastra yang mereka tulis.
“Saya lahir di atas amben bertikar
dengan ari-ari menyertai pula
Oleh mbah dukun dipotong dengan welat
tajamnya tujuh kali pisau cukur
Bersama tlor ayam mentah, beras, uang logam
bawang merah dan bawang putih, gula, garam,
jahe dan kencur, adik ari-ari jadi satu
Sehabis dibersihkan dibungkus periuk tanah
kemudian ditanam di depan rumah”
Kutipan di atas adalah kutipan dari novel ‘’Pengakuan Pariyem’’ karya Linus Suryadi AG. Kutipan ini memberikan sebuah gambaran tentang sebuah tradisi yang dilakukan masyarakat jawa ketika seorang anak baru dilahirkan.
“—Sepasaran, bahasa populernya
Maka tersedialah di tikar di lantai, di tanah:
Jenang abang: lambang kesucian si jabang bayi
Jenang putih: lambang cahaya yang menerangi alam
Ingkung ayam: lambang keutuhan badan
wadhag telanjang
Nasi tumpeng dan gudhangan: lambang
pergaulan hidup…”
Kutipan ini juga dari novel ‘’Pengakuan Pariyem’’, tetapi pembahasannya pada acara selamatan pemberian nama pada anak umur 5 hari atau sepasaran oleh masyarakat Jawa. Dari sini dapat diketahui bahwa dalam tradisi masyarakat Jawa ada juga selamatan untuk bayi yang baru lahir.
Dua buah kutipan di atas sudah sedikit menggambarkan tradisi masyarakat Jawa yang masih sering dilakukan. Ini membuktikan suatu tradisi dapat masuk ke dalam sebuah karya sastra. Hal inilah yang mampu menjadi sebuah media dalam mengenalkan dan melestarikan suatu tradisi kebudayaan kepada seluruh kalangan masyarakat.
Ada juga sebuah judul dari kumpulan cerpen “Perempuan Terakhir” karya Shoim Anwar yang telah menjadi dokumentasi dari kesenian ludruk. Judul dari cerpen yang mendokumentasikan kesenian ludruk itu adalah “Awak Ludruk”. Dalam cerpen ini, penulis memberikan gambaran tentang pementasan ludruk dengan sejarah-sejarahnya. Siapa saja yang membacanya pasti akan mendapatkan sebuah gambaran mengenai ludruk.
“Kidung jula-juli usai dilantunkan. Irama dan tempo gamelan menaik dan semakin cepat. Suara gendang pun menghentak-hentak sebagai pertanda tari ngremo akan berakhir. Sang penari mulai menutup tariannya dengan gerakan yang amat gesit dan tangkas. Lidah sampur pun mulai dipermainkan ke kiri dan ke kanan, diikuti oleh tatapan mata yang kelewat tajam. Penari itu tak lain adalah Cak Codet. Sementara kaki kanannya digedhruk-gedhrukkan sehingga klintingan yang dikalungkan di pergelangan kaki itu terdengar ramai gemerincing. Dengan cepat, lelaki itu berjalan mengitari panggung, lalu berdiri kembali menghadang penonton. Matanya berkilat-kilat desetubuhi cahaya blencong.”
Beberapa kutipan di atas merupakan sebuah gambaran umum tentang suatu budaya dalam masyarakat Jawa. Secara khusus, untuk Jawa telah masuk beberapa kesenian tradisional, misalnya kuda lumping, ludruk, tayub, wayang kulit, dan sebagainya. Ini akan menjadi sebuah dokumentasi budaya Jawa yang beragam. Apabila telah terdokumentasikan dalam sebuah karya sastra, pasti tidak akan pernah hilang suatu kebudayaan itu oleh waktu.
Pengenalan dan pelestarian budaya Jawa dengan menggunakan karya sastra merupakan suatu inovasi yang sangat berharga. Tidak hanya untuk memberikan sebuah pengetahuan kepada pembaca, tetapi hal ini juga akan memberikan dampak positif untuk budaya Jawa itu sendiri. Ketika seorang pengarang telah memasukkan sebuah budaya Jawa di dalam karya sastranya, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa budaya Jawa itu akan selamanya ada. Inilah yang membuat sebuah karya sastra juga dapat mengenalkan dan meleastarikan budaya Jawa pada zaman ini.Banyak sekali manfaat yang akan diperoleh dari memasukkan suatu budaya Jawa ke dalam sebuah karya sastra. Budaya Jawa tersebut tidak akan pernah hilang oleh waktu karena budaya itu telah terdokumentasikan dalam sebuah karya sastra. Ketika kepedulian masyarakat kepada budaya Jawa semakin pudar, karya sastra inilah yang akan menjadi sebuah pelestari budaya Jawa.Media inilah yang saat ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat modern saat ini agar budaya-budaya yang dimiliki Jawa tidak menghilang beriringan dengan zaman yang terus berkembang.
Kejelasan lain tentang karya sastra ialah sastra itu tidak pernah tercipta dari kekosongan. Sastra selalu memiliki latar belakang untuk menjadi ada. Hasil dari pengolahan kejadian yang melatarbelakangi terciptanya sebuah karya sastra adalah cerita ataupun kejadian-kejadian dalam masyarakat. Inilah alasan karya sastra tidak pernah hadir dari kehampaan.
Hubungan yang erat antara sastra dan budaya akhirnya dapat menghasilkan karya sastra yang memiliki fungsi sebagai pelestari kebudayaan. Sebuah kebudayaan yang kompleks dapat tercermin dalam sebuah karya sastra. Jika ditelusuri dengan seksama, maka akan kita ketahui beberapa pengarang yang telah memasukkan sebuah tradisi dan budaya suatu daerah dalam karya sastra mereka. Pada khususnya para sastrawan yang memasukkan adat budaya Jawa didalamnya. Mereka merangkum beberapa kesenian atau pun tradisi-tradisi kejawen dalam karya-karya sastra yang mereka tulis.
“Saya lahir di atas amben bertikar
dengan ari-ari menyertai pula
Oleh mbah dukun dipotong dengan welat
tajamnya tujuh kali pisau cukur
Bersama tlor ayam mentah, beras, uang logam
bawang merah dan bawang putih, gula, garam,
jahe dan kencur, adik ari-ari jadi satu
Sehabis dibersihkan dibungkus periuk tanah
kemudian ditanam di depan rumah”
Kutipan di atas adalah kutipan dari novel ‘’Pengakuan Pariyem’’ karya Linus Suryadi AG. Kutipan ini memberikan sebuah gambaran tentang sebuah tradisi yang dilakukan masyarakat jawa ketika seorang anak baru dilahirkan.
“—Sepasaran, bahasa populernya
Maka tersedialah di tikar di lantai, di tanah:
Jenang abang: lambang kesucian si jabang bayi
Jenang putih: lambang cahaya yang menerangi alam
Ingkung ayam: lambang keutuhan badan
wadhag telanjang
Nasi tumpeng dan gudhangan: lambang
pergaulan hidup…”
Kutipan ini juga dari novel ‘’Pengakuan Pariyem’’, tetapi pembahasannya pada acara selamatan pemberian nama pada anak umur 5 hari atau sepasaran oleh masyarakat Jawa. Dari sini dapat diketahui bahwa dalam tradisi masyarakat Jawa ada juga selamatan untuk bayi yang baru lahir.
Dua buah kutipan di atas sudah sedikit menggambarkan tradisi masyarakat Jawa yang masih sering dilakukan. Ini membuktikan suatu tradisi dapat masuk ke dalam sebuah karya sastra. Hal inilah yang mampu menjadi sebuah media dalam mengenalkan dan melestarikan suatu tradisi kebudayaan kepada seluruh kalangan masyarakat.
Ada juga sebuah judul dari kumpulan cerpen “Perempuan Terakhir” karya Shoim Anwar yang telah menjadi dokumentasi dari kesenian ludruk. Judul dari cerpen yang mendokumentasikan kesenian ludruk itu adalah “Awak Ludruk”. Dalam cerpen ini, penulis memberikan gambaran tentang pementasan ludruk dengan sejarah-sejarahnya. Siapa saja yang membacanya pasti akan mendapatkan sebuah gambaran mengenai ludruk.
“Kidung jula-juli usai dilantunkan. Irama dan tempo gamelan menaik dan semakin cepat. Suara gendang pun menghentak-hentak sebagai pertanda tari ngremo akan berakhir. Sang penari mulai menutup tariannya dengan gerakan yang amat gesit dan tangkas. Lidah sampur pun mulai dipermainkan ke kiri dan ke kanan, diikuti oleh tatapan mata yang kelewat tajam. Penari itu tak lain adalah Cak Codet. Sementara kaki kanannya digedhruk-gedhrukkan sehingga klintingan yang dikalungkan di pergelangan kaki itu terdengar ramai gemerincing. Dengan cepat, lelaki itu berjalan mengitari panggung, lalu berdiri kembali menghadang penonton. Matanya berkilat-kilat desetubuhi cahaya blencong.”
Beberapa kutipan di atas merupakan sebuah gambaran umum tentang suatu budaya dalam masyarakat Jawa. Secara khusus, untuk Jawa telah masuk beberapa kesenian tradisional, misalnya kuda lumping, ludruk, tayub, wayang kulit, dan sebagainya. Ini akan menjadi sebuah dokumentasi budaya Jawa yang beragam. Apabila telah terdokumentasikan dalam sebuah karya sastra, pasti tidak akan pernah hilang suatu kebudayaan itu oleh waktu.
Pengenalan dan pelestarian budaya Jawa dengan menggunakan karya sastra merupakan suatu inovasi yang sangat berharga. Tidak hanya untuk memberikan sebuah pengetahuan kepada pembaca, tetapi hal ini juga akan memberikan dampak positif untuk budaya Jawa itu sendiri. Ketika seorang pengarang telah memasukkan sebuah budaya Jawa di dalam karya sastranya, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa budaya Jawa itu akan selamanya ada. Inilah yang membuat sebuah karya sastra juga dapat mengenalkan dan meleastarikan budaya Jawa pada zaman ini.Banyak sekali manfaat yang akan diperoleh dari memasukkan suatu budaya Jawa ke dalam sebuah karya sastra. Budaya Jawa tersebut tidak akan pernah hilang oleh waktu karena budaya itu telah terdokumentasikan dalam sebuah karya sastra. Ketika kepedulian masyarakat kepada budaya Jawa semakin pudar, karya sastra inilah yang akan menjadi sebuah pelestari budaya Jawa.Media inilah yang saat ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat modern saat ini agar budaya-budaya yang dimiliki Jawa tidak menghilang beriringan dengan zaman yang terus berkembang.
Sumber : http://indonesiasastra.org/2013/08/sastra-indonesia-karya-sastra-sebagai-media-pelestari-budaya/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar